KOMPAS.com - Gunung Bromo di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, merupakan salah satu destinasi wisata yang tak pernah kehilangan pesonanya.
Setiap tahun, kawasan ini selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah, bahkan mancanegara. Daya tariknya terletak pada keindahan alam pegunungan yang begitu khas.
Nilai budaya yang kuat juga membuat Bromo tak kehilangan pesona. Tempat ini bukan sekadar tempat wisata, melainkan ruang hidup yang penuh cerita.
Berkat hal tersebut, tak heran rasanya jika kawasan Bromo kerap menjadi destinasi favorit bagi wisatawan yang ingin mencari pengalaman menyenangkan.
Salah satu cara terbaik menikmati keindahan Bromo adalah dengan menyambut pagi di Penanjakan.
Baca juga: Surga Tropis Dekat Jakarta, Ini 5 Pulau Wajib Kunjungi untuk Island Hopping di Kepulauan Seribu
Lokasi ini dikenal sebagai titik pandang terbaik untuk menyaksikan sunrise atau panorama Bromo pada pagi hari.
Wisatawan biasanya sudah datang sejak dini hari agar tidak melewatkan momen terbitnya matahari di balik pegunungan.
Saat cahaya pertama mulai menyinari lautan pasir dan Gunung Semeru tampak di kejauhan, suasana terasa tenang dan menyejukkan.
Pemandangan tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang ingin menenangkan pikiran sambil menikmati keindahan alam khas Bromo.
Menurut Journal of Environmental Psychology pada 2023, melihat sunrise dan sunset dapat meningkatkan sensasi kekaguman.
Baca juga: Fenomena Embun Upas Tingkatkan Jumlah Kunjungan Wisata ke Gunung Bromo
Akibat dari terdorongnya sensasi kekaguman itu, seseorang bisa mendapatkan suasana hati yang baik serta perilaku sosial dan kesehatan mental yang lebih baik.
Jadi, kamu yang ingin mendapatkan manfaat kesehatan mental saat di Bromo, menyaksikan pemandangan matahari jadi pilihan yang tak boleh dilewatkan.
Gunung Bromo tidak hanya menawarkan panorama alam yang memukau. Kawasan ini juga menyajikan keunikan kuliner khas masyarakat Tengger yang tinggal di lereng gunung.
Salah satu hidangan yang patut dicoba adalah nasi aron. Makanan tradisional ini dibuat dari jagung putih yang ditanam di lahan sekitar Bromo.
Sekilas tampilannya mirip nasi putih, tetapi nasi aron memiliki rasa gurih, membuat kenyang lebih lama, dan tidak mudah basi, bahkan hingga beberapa hari.
Baca juga: Cara Snorkeling di Pulau Bunaken, Pemula Wajib Tahu
Nasi aron biasanya disajikan bersama lauk sederhana, seperti sayur daun ranti, tahu, tempe, kentang, dan ikan laut.
Kombinasi tersebut menciptakan cita rasa yang khas dan menyehatkan. Tambahan sambal terasi membuat hidangan ini semakin nikmat.
Di daerah dengan suhu dingin seperti Bromo, nasi aron juga dipercaya membantu menghangatkan tubuh sehingga menjadi menu andalan warga setempat dan favorit wisatawan.
Selain nasi aron, wisatawan juga bisa mencicipi iga pasir Bromo. Kuliner ini terbuat dari iga sapi yang dimasak menggunakan pasir panas sebagai media pemanas.
Meski disebut “pasir,” makanan ini sama sekali tidak mengandung pasir di dalamnya. Proses memasak dengan pasir panas justru membuat daging lebih empuk dan bumbunya meresap sempurna.
Baca juga: Keraton Yogyakarta Setop Pentas Gamelan Wisata hingga Pemakaman PB XIII
Cita rasanya yang manis dan pedas membuat iga pasir Bromo cocok dinikmati saat udara dingin di kawasan pegunungan.
Setelah mencicipi kuliner khas, pengalaman di Bromo bakal terasa lengkap ketika pelancong berkesempatan mengenal kehidupan budaya masyarakat Tengger.
Di tengah lanskap pegunungan, tradisi setempat memberi warna tersendiri bagi perjalanan para wisatawan.

Salah satu tradisi yang masih lestari di kawasan Gunung Bromo adalah Upacara Yadnya Kasada atau Kasada.
Upacara tersebut merupakan ritual adat tahunan masyarakat Suku Tengger yang tinggal di sekitar Gunung Bromo.
Baca juga: Megahnya Jembatan Terpanjang di Yogyakarta, Kini Jadi Tempat Wisata
Yadnya Kasada menjadi bentuk penghormatan kepada para leluhur dan Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa serta wujud rasa syukur atas limpahan hasil bumi dan keselamatan hidup.
Yadnya Kasada dilaksanakan setiap tahun pada hari ke-14 bulan Kasada berdasarkan penanggalan tradisional masyarakat Tengger.
Dalam kalender Masehi, perayaan ini jatuh sekitar pertengahan Juli. Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun sejak masa Kerajaan Majapahit dan menjadi salah satu hari raya penting bagi masyarakat Tengger yang memeluk ajaran Hindu Dharma.
Tujuan utama upacara tersebut adalah untuk memohon keselamatan, hasil panen yang melimpah, dan perlindungan dari berbagai musibah.
Selain itu, Yadnya Kasada juga menjadi bentuk penghormatan atas pengorbanan Raden Kusuma, tokoh dalam legenda masyarakat Tengger.
Baca juga: 3 Karya Budaya Wonosobo Masuk Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2025
Dalam kisah tersebut, Raden Kusuma rela mengorbankan dirinya ke kawah Bromo demi menyelamatkan saudara-saudaranya.
Rangkaian Yadnya Kasada berlangsung dalam beberapa tahap, mulai dari puja Purkawa, Manggala Upacara, Ngulat Umat, Tri Sandhya, Muspa, Pembagian Bija, Diksa Widhi, hingga penyerahan sesaji di kawah Gunung Bromo. Prosesi dimulai sejak Sadya Kala Puja dan berakhir pada Surya Puja.
Menjelang puncak acara, masyarakat Tengger berbondong-bondong menuju Gunung Bromo sambil membawa sesaji berupa hasil pertanian dan ternak.
Mereka berkumpul di Pura Luhur Poten, tempat utama pelaksanaan ritual untuk berdoa dan melakukan persembahan.
Setelah itu, sesaji dilarung atau dilempar ke dalam kawah Gunung Bromo sebagai simbol pengorbanan dan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi.
Bagi masyarakat Tengger, Yadnya Kasada bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga warisan budaya yang mempererat hubungan antarwarga serta mengingatkan pentingnya keseimbangan antara manusia, alam, dan kepercayaan.
Upacara ini sekaligus menjadi daya tarik wisata budaya yang memperkaya pengalaman berkunjung ke Gunung Bromo.
Baca juga: Jemparingan Nasional di Kulon Progo, Panahan Gaya Mataram Jadi Daya Tarik Wisata Budaya