JAKARTA, KOMPAS.com - Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau, menjadi rumah dan sekaligus benteng terakhir bagi gajah sumatera.
Semula, taman nasional tersebut memiliki luas 81.739 hektare (ha). Namun, luas lahan kini tergerus hingga tersisa 12.561 ha atau sekitar 15 persennya.
Penurunan area hutan membuat jalur jelajah gajah sumatera semakin terhimpit dan ruang hidupnya kian terbatas. Akibatnya, konflik antara gajah liar dan masyarakat tak terhindarkan serta jumlahnya kian berkurang.
Di tengah kondisi tersebut, hadir orang-orang yang memilih mengabdikan hidupnya untuk mencegah konflik tersebut terjadi dan turut menjaga kelestarian hutan.
Salah satunya adalah Erwin Daulay, seorang mahout yang tergabung dalam Tim Elephant Flying Squad serta sudah lebih dari tiga dekade setia mendampingi gajah di TNTN.
Erwin menjelaskan, konflik gajah dan manusia disebabkan oleh habitat asli gajah yang berkurang. Jalur jelajah permanen gajah liar kini berubah menjadi kebun atau pemukiman.
Baca juga: Kisah Karni Sandabunga, Perempuan Tangguh Pengendali Api dari Manggala Agni Sulawesi
“Gajah tetap lewat di jalur lamanya. Itu sebabnya mereka sering masuk ke ladang. Bisa dibilang itu bentuk protes mereka terhadap kerusakan habitat,” ujar Erwin saat berbincang dengan Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (27/8/2025).
Karena itulah, ia terpanggil untuk menjadi seorang mahout pada 1990. Mahout sendiri adalah seorang pelatih gajah yang memiliki keahlian dalam berinteraksi, mendidik, dan mengendalikan gajah.
“Bagi saya, menjadi mahout itu bukan sekadar pekerjaan. Ini panggilan hati untuk menjaga keseimbangan alam. Kalau gajah hilang, ekosistem ikut terancam,” imbuh Erwin.

Sebagai mahout di Tim Elephant Flying Squad, tugas Erwin tidak sekadar melatih gajah. Ia bersama gajah turut berpatroli untuk menghalau gajah liar agar tidak masuk ke permukiman.
Dua kali seminggu, ia bersama mahout lain dan gajah jinak anggota Tim Elephant Flying Squad memulai patroli dengan briefing singkat.
Jalur ditentukan, kondisi gajah dicek, dan perbekalan disiapkan sebelum memulai patroli. Perjalanan patroli bisa menempuh 10-15 km, melewati sungai, rawa, hingga perkebunan sawit yang sering menjadi titik rawan konflik.
Baca juga: Jonif Sianturi, Pengabdian Tiada Henti Polhut Hutan Kalimantan
“Gajah itu makan sepanjang jalan. Jadi, jalurnya juga kami sesuaikan dengan tanaman yang mereka suka,” tutur Erwin.
Patroli bukan sekadar perjalanan. Tim harus bisa membaca jejak gajah liar untuk memitigasi konflik. Tak hanya membaca, mereka harus bisa menggiring gajah liar agar kembali ke dalam hutan.
Saat menggiring, cerita Erwin, terkadang terjadi ketegangan dengan gajah liar, terutama jantan yang memang sensitif. Untuk itu, seorang mahout harus tetap tenang.

“Kalau mental kita ciut, gajah tunggangan ikut ciut. Kami bawa meriam karbit atau petasan untuk menghalau, supaya tidak terjadi perkelahian,” ujarnya.
Selain membaca jejak dan menggiring gajah liar kembali ke hutan, Tim Elephant Flying Squad juga punya tugas lain, di antaranya mencatat keberadaan satwa lain, seperti tapir dan rusa, serta memantau titik api di TNTN.
Mereka juga bertugas untuk mencegah pembalakan liar. Erwin pernah menyaksikan pelaku menebang pohon. Begitu tim datang, mereka kabur meninggalkan gergaji mesin dan motor yang kemudian diamankan sebagai barang bukti.
Baca juga: 4.700 Hektare Bekas Lahan Sawit di Tesso Nilo Kembali Ditanami
Tugas lain adalah mengedukasi masyarakat agar memiliki wawasan tentang gajah liar. Dengan demikian, masyarakat juga turut memitigasi konflik.
Namun, kata Erwin, upaya itu tidaklah mudah. Sebab, ada saja masyarakat yang menolak keberadaan Tim Elephant Flying Squad.
“Adu mulut sudah jadi makanan sehari-hari. Kami hanya bisa menjelaskan bahwa ini kawasan konservasi,” kata Erwin.
Tim Elephant Flying Squad memiliki delapan gajah jinak. Dari jumlah tersebut, Erwin memiliki ikatan khusus dengan seekor gajah betina bernama Ria. Ia merawat Ria sejak awal kariernya.
“Ria tenang, tapi sensitif. Tidak suka didekati tiba-tiba. Jadi, saya panggil namanya dulu, bawa gula atau semangka supaya dia tahu saya datang,” jelasnya.
Ikatan itu tak terbentuk dalam sehari, butuh puluhan tahun kebersamaan. Dari Ria, Erwin belajar membaca tanda-tanda kesehatan gajah.
Baca juga: Dua Anak Gajah di TN Tesso Nilo Riau Akan Dibuatkan KTP
Nafsu makan yang menurun atau perubahan warna kotoran menjadi alarm dini yang tidak bisa diabaikan.
“Kalau ada cairan di kotoran, warna lebih gelap, dan bau menyengat, itu tanda sakit. Kami langsung koordinasi dengan dokter hewan,” ujarnya.
Bagi Erwin, merawat gajah berarti menyelami karakter mereka dari kebiasaan kecil hingga perilaku besar.
Selama 35 tahun menjadi mahout, ia pun paham apa yang disukai dan apa yang ditolak oleh gajah-gajah yang menjadi mitranya.
Lantaran punya ikatan kuat dengan gajah-gajah di Tim Elephant Flying Squad, Erwin pun merasakan duka mendalam saat Rahman, gajah berusia 46 tahun, mati secara mengenaskan pada Rabu (10/1/2024) pagi.
“Rahman banyak membantu tim, terutama saat membuka jalur patroli,” kenang Erwin.
Baca juga: 40.000 Hektare Hutan Tesso Nilo Rusak, Gajah Terancam Punah
Saat itu, sekitar pukul 08.30 WIB, Jumadi, salah satu mahout lain, membawa buah dan memanggil Rahman, tapi tidak ada respons.
Kemudian, Rahman ditemukan tergeletak dalam kondisi sekarat. Gading kirinya hilang dipotong, tetapi di sekitar lokasi tak ditemukan barang mencurigakan.
Melihat kondisi itu, Rahman diduga kuat diracun terlebih dahulu sebelum dipotong gadingnya.
Bagi Erwin dan tim, kehilangan Rahman bukan hanya kehilangan seekor gajah, melainkan juga rekan seperjuangan. Hingga kini, penyidikan kasus tersebut tak jelas tindak lanjutnya.
“Habitat makin tertekan, sedangkan hukum terlalu longgar untuk melindungi mereka,” kata Erwin.
Karena itu, sebagai mahout, Erwin mengharapkan dukungan lebih kuat, tidak hanya dari pemerintah pusat, tetapi juga dari pemerintah daerah dan pihak swasta. Apalagi, tekanan terhadap habitat gajah kian besar, konflik dengan manusia berpotensi meningkat, dan kebutuhan edukasi masyarakat tak bisa ditunda.
Baca juga: Kemenhut Lakukan Revitalisasi Ekosistem di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau
“Harus berkolaborasi. Kalau tidak, konflik jadi beban warga. Gajah dan manusia sama-sama rugi,” tegasnya.

Peran Tim Elephant Flying Squad di TNTN mendapat apresiasi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Ia mengatakan, keberadaan tim tersebut terbukti efektif sebagai instrumen mitigasi konflik gajah-manusia.
“(Tim Elephant) Flying Squad tidak hanya membantu mengarahkan gajah liar kembali ke habitatnya, tetapi juga membangun kedekatan dengan masyarakat sehingga konflik bisa ditangani lebih humanis dan cepat,” ujarnya.
Selain meredam konflik, patroli rutin mereka juga menjaga keamanan hutan dari aktivitas ilegal seperti perambahan dan perburuan.
Menurut Raja Juli, keberhasilan ini tidak terlepas dari sejarah panjang pembentukan Flying Squad yang dimulai pada 2004. Tim ini merupakan hasil kerja sama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan WWF Indonesia.
Tim tersebut diharapkan bisa meminimalkan kerugian warga sera memberikan edukasi kepada warga bahwa gajah bisa diusir tanpa harus dilukai dan menumbuhkan kesadaran bahwa kelestarian hutan dapat mengurangi konflik gajah-manusia.
Baca juga: Gajah Lisa Lahirkan Seekor Anak di Taman Nasional Tesso Nilo Riau

Dua dekade kemudian, Tim Elephant Flying Squad terbukti menjadi bagian penting dari upaya konservasi dan sekaligus jembatan dialog dengan masyarakat.
Raja Juli Antoni menambahkan, pemerintah tidak tinggal diam dalam mendukung para mahout yang menjadi ujung tombak Tim Elephant Flying Squad.
“Kami menyediakan anggaran operasional untuk pakan, perawatan kesehatan gajah, serta perlengkapan kerja,” jelasnya.
Selain itu, mahout juga mendapatkan pelatihan teknis lapangan, pertukaran pengalaman dengan unit lain, hingga jaminan kesehatan dan perlindungan kerja.
Untuk memperkuat kesejahteraan satwa, pemerintah bekerja sama dengan Taman Safari Indonesia membangun klinik gajah di TNTN, lengkap dengan dokter hewan, perawat satwa, serta dukungan operasional.

Pemerintah juga menyiapkan rencana mereplikasi model Tim Elephant Flying Squad di bentang alam lain di Sumatera yang memiliki populasi gajah liar.
Baca juga: Seekor Gajah Jinak Melahirkan Bayi Jantan di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau
“Prinsipnya, replikasi harus disesuaikan dengan kondisi lokal, baik dari sisi sosial, ekologi, maupun kapasitas sumber daya manusia (SDM),” kata Raja Juli.
Pemerintah juga telah menyiapkan strategi jangka panjang konservasi gajah sumatera yang mencakup restorasi habitat alami, pembangunan koridor satwa, serta tata ruang yang memasukkan aspek konservasi.
Program pemberdayaan masyarakat juga dijalankan agar warga memiliki alternatif ekonomi yang ramah lingkungan dan tidak lagi bergantung pada pembukaan hutan.
Mengingat ancaman deforestasi dan perubahan iklim, pemerintah pun memperkuat perlindungan ekosistem kunci yang menjadi ruang jelajah gajah.
Upaya tersebut termasuk penanaman kembali spesies pakan alami, pemulihan hutan yang terfragmentasi, hingga penggunaan teknologi, seperti GPS collar, drone, dan patroli berbasis masyarakat untuk memantau populasi.
Terkait ancaman perburuan, Raja Juli menegaskan bahwa pemerintah akan rutin melakukan patroli gabungan dengan aparat penegak hukum, menindak tanpa kompromi terhadap pelaku, serta mengembangkan sistem intelijen konservasi.
“Kita tidak boleh memberi ruang bagi perdagangan ilegal bagian tubuh gajah,” tegasnya.