KOMPAS.com – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Nomor 35/PUU-XXI/2023 terkait Uji Materiil aturan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang–Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) pada Selasa (5/12/2023).
Sebagai informasi, pengaju judicial review UU PWP3K tersebut adalah perusahaan tambang nikel, PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang beroperasi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Adapun agenda pada sidang MK tersebut adalah mendengar keterangan perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan ahli dari pihak terkait.
Baca juga: Dilematika Pertambangan di Pulau Kecil
Pada kesempatan tersebut, pihak DPR RI diwakili oleh anggota Komisi III Wihadi Wiyanto, SH, MH untuk menyampaikan keterangan.
Wihadi menyampaikan bahwa frasa “dikuasai negara” berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) NKRI Tahun 1945 haruslah mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala kekayaan bumi, air, dan alam di dalamnya.
“UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan dan melakukan pengawasan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujarnya memberi keterangan, Selasa.
Dirinya juga menegaskan penjelasan mengenai kata “prioritas” sebagaimana dimuat dalam Pasal 23 ayat (2) UU PWP3K untuk tidak dimaknai sebagai larangan mutlak.
“Secara gramatikal, kata ‘diprioritaskan’ dalam pasal tersebut diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu diutamakan atau didahulukan dari yang lain. Oleh karena itu, kegiatan yang diprioritaskan harus didahulukan dibandingkan kegiatan lain selain kegiatan prioritas. Karenanya, kata ’diprioritaskan’ tidak dapat diartikan sebagai larangan mutlak untuk kegiatan lain selain kegiatan prioritas. Dalam hal ini, terkait kegiatan pertambangan di pulau kecil,” tegas Wihadi.
Baca juga: Efek Bola Salju dari Dilematika Tambang di Pulau Wawonii
Mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8/Permen-KP/2019 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas di Bawah 100 Km2 yang sudah diubah dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53/Permen-KP/2020 Tahun 2020, menurut Wihadi pemanfaatan pulau kecil dan perairan disekitarnya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut dalam ketentuan tersebut, tetapi dimungkinkan adanya pemanfaatan dan kegiatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk kegiatan pertambangan mineral.
“Dengan demikian, tidak terdapat larangan untuk melakukan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara di pulau-pulau kecil dengan luas mulai 100 kilometer persegi (km2) hingga 2.000 km2,” tambahnya.
Wihadi juga menguraikan penilaian hukum atas Pasal 35 huruf k UU PWP3K. Ia berujar bahwa pada dasarnya, kegiatan penambangan diperbolehkan selama tidak menimbulkan kondisi-kondisi sebagaimana yang dicantumkan dalam ketentuan pasal tersebut.
“Diperbolehkan, asalkan telah memenuhi berbagai persyaratan, yaitu telah tercantum dalam RZWP3K, yakni telah memiliki perizinan berusaha, memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan tata kelola air dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, memenuhi syarat luas wilayah yaitu di atas 100 km2 hingga 2.000 km2, serta kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan dan atau masyarakat sekitarnya secara teknis dan ekologi dan atau sosal dan atau budaya,” jelas Wihadi.
Sebelumnya, pada sidang MK yang digelar pada Selasa (12/9/2023), Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Victor Gustaf Manoppo, mewakili Pemerintah menyampaikan pandangan yang sejalan dengan DPR RI.
Baca juga: Revitalisasi Pulau Kecil dan Pulau Kosong Nan Kaya Mineral
Dalam paparannya, Pemerintah meminta agar UU PWP3K dipahami secara komprehensif dan melihat tujuan diundangkannya UU itu sendiri. Oleh karena itu, membaca dan memahami ketentuan dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 Huruf k undang-undang a quo harus dikaitkan dengan Pasal 4 huruf a UU PWP3K.
“Yang jelas, (UU tersebut) mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta ekosistem ekologisnya secara berkelanjutan,” ujar Victor.
Victor juga melanjutkan dengan penjelasan tentang kata ’prioritas’ seperti terdapat dalam Pasal 23 ayat (2) yang bermakna tidak melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil.
“Menurut KBBI, arti ‘prioritas’, yaitu didahulukan dan diutamakan daripada yang lain, yang oleh Pemohon dimaknai tidak sebagai larangan. Dengan demikian, kepentingan lain di luar kegiatan atau aktivitas prioritas tidak serta-merta dilarang,” jelasnya.
Lebih lanjut, Victor juga menyampaikan penjelasan mengenai Pasal 35 huruf k terkait dengan kegiatan pertambangan di pulau kecil.
“Dengan demikian, dalam hal penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/ atau ekologis, dan atau sosial, dan atau budaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, atau pencemaran lingkungan, atau merugikan masyarakat sekitarnya, maka kegiatan tersebut tidak dilarang,” papar Victor.