JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia mematok target ambisius untuk pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 8 persen pada 2029.
Guna mencapai target itu, sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) punya peran penting lantaran memiliki jumlah pelaku usaha serta serapan tenaga kerja yang besar.
Data Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menunjukkan, jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai 66 juta unit pada 2023.
Dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 61 persen atau Rp 9.580 triliun, sektor UMKM mampu menyerap sekitar 117 juta pekerja atau 97 persen dari total tenaga kerja.
Sayangnya, daya saing UMKM Indonesia masih rendah. Hal ini terlihat dari kontribusi ekspor sektor ini yang baru menyentuh 15,7 persen pada 2024.
Baca juga: Permodalan dan Akses Pasar Masih Jadi Masalah Klasik UMKM
Oleh karena itu, pemerintah konsisten mendorong UMKM naik kelas. Salah satunya melalui inisiatif UMKM Go Digital, sebuah gerakan untuk mengajak pelaku usaha memanfaatkan teknologi digital dalam menjalankan bisnis mereka.
Sejumlah pihak, baik pemerintah maupun swasta, pun menggelar pelatihan untuk mendukung pelaku UMKM bertransformasi ke ranah digital.
Namun, dalam praktiknya, masih banyak pelaku UMKM mengaku kesulitan menemukan program yang sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka.
Salah satunya adalah Umbar Basuki, pemilik UMKM Batik Tulis Seodjono asal Lamongan, Jawa Timur. Ia mulai merintis usaha tersebut di tengah pandemi Covid-19 pada 2020.
Umbar mengungkapkan kesulitan yang dialaminya dalam memasuki dunia digital, mulai dari menentukan pasar hingga mencari followers di media sosial (medsos).
Baca juga: Transaksi Ekspor UMKM Tembus Rp 1,4 Triliun lewat Business Matching
Untuk mengatasi hal tersebut, Umbar mengikuti sejumlah pelatihan, seperti digital marketing, foto produk, dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).
“Kebanyakan saya ikut pelatihan dari dinas terkait. Ada juga yang mencari informasi sendiri lewat medsos,” ujar Umbar kepada Kompas.com, Selasa (24/6/2025).
Meski telah mengikuti berbagai pelatihan, Umbar merasa bahwa materi yang diberikan hanya mencakup hal-hal dasar dan tidak selalu relevan dengan kebutuhan bisnisnya.
“Rata-rata pelatihannya hanya satu hari dan materinya kurang mendalam. Setelah itu, tidak ada mentoring atau pendampingan lebih lanjut. Akan tetapi, dari segi materi masih ada beberapa yang bisa diaplikasikan di bisnis,” ungkapnya.
Kondisi serupa juga dialami Firman Setyaji, pemilik UMKM Bengok Craft. Ia mengaku lebih sering mencari informasi pelatihan secara mandiri.
“Kami yang harus aktif mendaftar (pelatihan). Kalau menunggu (informasi dari penyelenggara), agak lama, apalagi di awal (merintis). Kalau sudah terdata atau pernah ikut pelatihan, biasanya lebih mudah dapat informasi di grup-grup,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (25/6/2025).
Terkait penyelenggaraan pelatihan, Firman mengaku kerap menemui program yang bersifat sementara, ketimbang program yang berkelanjutan dengan pendampingan.
Baca juga: Momen Gibran Keliling Stan dan Beri Masukan ke UMKM di Sleman
“Untuk saat ini, pelatihan (yang kami ikuti) lebih banyak menyesuaikan dengan agenda penyelenggara. Jadi, kami hanya mengikuti materi pelatihan yang diberikan,” tutur Firman.
Baik Umbar maupun Firman berharap, program pelatihan UMKM tidak hanya terbatas pada kegiatan satu kali, tetapi juga menyediakan pendampingan berkelanjutan yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masing-masing usaha.
“Semoga juga dilakukan optimalisasi fasilitas penunjang digital untuk UMKM serta menghadirkan wadah yang mampu menjembatani praktisi digital marketing dengan umkm agar bisa saling terkoneksi,” harap Firman.
Untuk menjawab tantangan pemberdayaan UMKM yang semakin kompleks, pemerintah kini tengah mengembangkan Sistem Informasi dan Pelayanan UMKM (SAPA UMKM). Platform digital terpadu ini dirancang untuk mengintegrasikan data dan program pengembangan UMKM secara nasional.
Saat ini, terdapat 27 kementerian dan lembaga yang masing-masing memiliki data dan program untuk UMKM. Sayangnya, data tersebut tidak terintegrasi sehingga sulit mengetahui gambaran menyeluruh tentang perkembangan UMKM di Indonesia.
Dikutip dari antaranews.com, Selasa (29/4/2025), SAPA UMKM akan mengintegrasikan berbagai layanan yang dibutuhkan UMKM, termasuk berbagai materi pelatihan dan pendampingan, dalam satu platform terpadu.
Baca juga: Kementerian UMKM Akan Buat Super Apps Sapa UMKM
Kehadiran platform tersebut juga bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang selama ini dihadapi UMKM, mulai dari birokrasi yang rumit, data yang terfragmentasi, akses ke pembiayaan yang sulit, hingga literasi digital yang rendah.
Selain rencana pengembangan SAPA UMKM, pemerintah telah memiliki platform digital bernama EntrepreneurHub atau E-Hub.
Platform ekosistem wirausaha Indonesia itu merupakan wadah yang mengintegrasikan dan menghubungkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kementerian, lembaga, penyedia layanan bisnis, hingga pelaku UMKM.
E-Hub menyediakan informasi lengkap mengenai program, pelatihan, bantuan, termasuk akses ke pembiayaan, yang tersedia bagi UMKM. Selain itu, E-Hub juga dapat menjadi wadah pelaku UMKM berinteraksi dan menjalin kolaborasi dengan sesama pelaku UMKM ataupun pihak terkait.
Pengembangan SAPA UMKM oleh pemerintah mendapatkan apresiasi dari DFS Lab dan Somia CX. Menurut keduanya, inisiatif tersebut memiliki arah yang tepat dan sejalan dengan hasil temuan dari studi yang mereka lakukan di lapangan.
Untuk diketahui, DFS Lab dan Somia CX adalah pusat riset yang memiliki keahlian dalam bidang ekonomi digital.
Baru-baru ini, keduanya melakukan studi mendalam mengenai bisnis daring serta program pelatihan yang bertujuan untuk mendukung pengembangan bisnis UMKM.
Founder and Director DFS Lab Jake Kendall menjelaskan bahwa tantangan pemberdayaan UMKM yang dihadapi Indonesia sejatinya juga dialami banyak negara berkembang lain.
Menurutnya, banyak UMKM di berbagai negara berkembang memiliki potensi besar, tetapi terhambat oleh sistem pembinaan yang belum terkoordinasi dengan baik.
Di banyak negara berkembang, lanjutnya, UMKM menghadapi tantangan serupa, mulai dari keterbatasan data usaha, pembiayaan yang tidak terjangkau, hingga pelatihan yang tidak sesuai tahapan kesiapan usaha mereka.
“Inilah (alasaan) kenapa pembangunan infrastruktur data publik (digital public infrastructure) menjadi krusial," kata Jake dalam wawancara daring dengan Kompas.com, Jumat (20/6/2025).
Jake mencontohkan, India telah memulai pengembangan sistem Unified Lending Interface (ULI) yang mengintegrasikan data usaha mikro dengan sistem pembiayaan berbasis profil usaha secara real-time.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Rp 2 Triliun untuk Perpanjangan PPh Final UMKM 0,5 Persen
Sistem ini memungkinkan bank dan lembaga keuangan memberikan kredit usaha mikro secara lebih akurat dan terukur.
"Selain India, ada pula negara-negara berkembang lain, seperti Nigeria dan Rwanda, yang sudah mulai membangun integrasi data UMKM lintas sektor. Indonesia punya peluang besar untuk belajar dari praktik-praktik ini agar bisa membangun ekosistem pemberdayaan UMKM yang benar-benar sistemik," ujarnya.
Jake menegaskan, data yang terintegrasi tidak semata ditujukan untuk kepentingan pengawasan, tetapi dapat menjadi fondasi untuk mendesain intervensi yang efektif, mulai dari pelatihan hingga akses pembiayaan berbasis data perilaku usaha masing-masing.
Berdasarkan hasil observasi dan studi lapangan yang dilakukan Somia CX, pelaku UMKM di Indonesia menghadapi tantangan yang jauh melampaui sekadar penguasaan teknologi digital.
Senior Experience Design Consultant Somia CX Nathaniel Orlandy menuturkan bahwa banyak UMKM bahkan belum memiliki fondasi manajemen bisnis yang kuat, seperti pengelolaan keuangan dasar, penentuan harga jual, atau pengaturan kapasitas produksi.
"Banyak pelaku usaha mikro baru kesulitan mengatur harga, mengelola stok, dan menghitung keuntungan secara benar. Ketika mereka didorong masuk ke platform digital tanpa bekal manajemen usaha yang kokoh, justru timbul risiko baru saat skala penjualan meningkat," jelas Nathaniel.
Nathaniel menambahkan, sebagian pelaku UMKM merasa sudah menjalankan digitalisasi karena menggunakan media sosial, seperti WhatsApp atau Instagram, untuk berkomunikasi atau melakukan penjualan.
Namun, kata Nathaniel, dalam praktiknya, mereka belum memanfaatkan kanal digital tersebut secara optimal untuk bisnis. Sebut saja memanfaatkan platform digital untuk pengelolaan katalog produk, pembukuan transaksi, atau pengelolaan pelanggan.
"Ada false sense of digitalization, seolah-olah sudah digital hanya karena berjualan lewat media sosial. Padahal, pengelolaan bisnisnya belum berjalan secara sistematis," lanjut Nathaniel.
Baca juga: Kejar Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Komdigi Dampingi Digitalisasi UMKM
Design Researcher Somia CX Rayi Harjani menambahkan bahwa selama ini banyak program pelatihan cenderung menjangkau kelompok peserta yang sama berulang-ulang.
"Ada peserta yang berkali-kali mengikuti berbagai program pelatihan hanya untuk mengejar insentif. Sementara, banyak pelaku UMKM lain justru belum pernah terjangkau pelatihan sama sekali," paparnya.
Tak jarang, UMKM yang belum tergabung dalam komunitas formal atau tidak memiliki jaringan peer sulit mendapatkan informasi program yang sebenarnya tersedia.
Hal itu, kata Rayi, juga dialami oleh para penyelenggara program pemberdayaan UMKM, baik pemerintah maupun lembaga atau instansi swasta.
Menurutnya, banyak lembaga atau instansi penyelenggara pelatihan sering kali mengalami kesulitan dalam menentukan target peserta yang sebenarnya perlu dilatih, topik pelatihan, dan tingkat kesiapan usaha mana para pelaku UMKM berada.
"Penyelenggara program tidak punya cukup visibilitas data yang komprehensif. Akibatnya, program yang disusun sering terlalu umum dan tidak mampu menjawab kebutuhan riil peserta," ujar Rayi.
DFS Lab dan Somia CX menekankan bahwa pemberdayaan UMKM membutuhkan desain program pelatihan yang bertahap sesuai tahap kesiapan masing-masing usaha. Pasalnya, tidak semua UMKM siap langsung masuk ke tahap digitalisasi lanjutan.
Menurut mereka, program pemberdayaan idealnya dimulai dari penguatan manajemen dasar, dilanjutkan dengan optimalisasi digitalisasi operasional, hingga kesiapan memperluas pasar.
"Jika manajemen dasarnya belum siap, digitalisasi justru berisiko memperbesar masalah di kemudian hari. Skala penjualan meningkat, tapi margin menipis karena salah hitung harga atau gagal mengelola kapasitas produksi," lanjut Nathaniel.
Baca juga: Teten Masduki Akui Target Digitalisasi UMKM Tak Akan Tercapai Tahun Ini
Nathaniel mengingatkan, kesalahan di tahap awal akan berdampak fatal saat bisnis bertumbuh karena akumulasi pengelolaan keuangan dan produksi yang tidak rapi dapat memperbesar kerugian.
Selain itu, DFS Lab dan Somia CX juga menilai bahwa penyelenggara pelatihan perlu menyusun program yang bisa disesuaikan dengan profil dan kesiapan tiap usaha.
"Program yang didesain one-size-fits-all tidak lagi relevan. UMKM butuh jalur belajar yang bisa menyesuaikan kebutuhan spesifik mereka," tambah Rayi.
Terkait pengelolaan keuangan, hasil riset DFS Lab dan Somia CX mengungkap bahwa literasi dan inklusi keuangan menjadi elemen mendasar yang harus dimiliki pelaku UMKM di setiap tahapan pertumbuhan usahanya.
Literasi keuangan mencakup pemahaman keuangan dasar, seperti pencatatan transaksi dan pengelolaan arus kas secara sistematis. Sementara, inklusi keuangan berkaitan dengan kepemilikan produk dan layanan keuangan formal, termasuk penyediaan platform pembayaran digital.
Adapun penyediaan platform pembayaran digital akan membantu pelaku UMKM dalam mencatat transaksi. Dengan demikian, pelaku usaha dapat membangun rekam jejak yang kredibel dan bisa digunakan untuk mengakses layanan keuangan lanjutan, seperti pinjaman, asuransi, atau investasi.
Baca juga: Tren Belanja Online Meningkat, Tanda Pentingnya Digitalisasi UMKM
Pembayaran digital juga berperan sebagai penghubung antara UMKM dan pasar yang lebih luas, termasuk ekosistem e-commerce. Namun, manfaat ini hanya dapat dirasakan jika pelaku UMKM memiliki kemampuan mencatat, memantau, dan menganalisis transaksi secara konsisten.
Maka dari itu, program pemberdayaan UMKM perlu memasukkan penguatan kapasitas keuangan dan adopsi pembayaran digital sebagai fondasi. Elemen ini harus diajarkan sejak tahap awal agar UMKM mampu bertumbuh secara sehat dan siap mengakses peluang ekonomi yang lebih besar di masa depan.
Dalam konteks inisiatif pemerintah, Rayi menilai, SAPA UMKM dapat menjadi pusat gravitasi baru dalam pemberdayaan UMKM di Indonesia.
"SAPA UMKM memiliki potensi untuk menghubungkan seluruh program pelatihan yang ada dan sekaligus memetakan kebutuhan pelaku usaha berdasarkan tahapan kesiapan mereka. Dengan begitu, intervensi program menjadi jauh lebih tepat sasaran," ungkap Rayi.
Selain pemetaan pelatihan, imbuhnya, integrasi data lintas lembaga melalui SAPA UMKM juga dapat memperbaiki efektivitas intervensi program secara nasional. Dengan begitu, pemerintah dapat memiliki peta kebutuhan aktual pelaku usaha sekaligus meminimalkan duplikasi intervensi antar lembaga.
Rayi mengatakan, platform, seperti SAPA UMKM dan E-Hub, juga dinilai ideal jika dapat membuka ruang komunitas digital yang mendorong peer learning antarpelaku UMKM.
Baca juga: Perubahan Saluran Penjualan jadi Langkah Utama Digitalisasi UMKM
"Sering kali pelaku usaha bisa belajar dengan lebih efektif dari sesama UMKM yang sudah punya pengalaman praktik," kata Rayi.
Baik Somia CX maupun DFS Lab menegaskan bahwa keberhasilan pemberdayaan UMKM membutuhkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan.
SAPA UMKM sebagai platform teknologi perlu didukung oleh kesatuan data, sinergi program, serta komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, lembaga keuangan, penyedia pelatihan, hingga komunitas pelaku usaha lokal.
"Kalau seluruh aktor bisa duduk bersama dalam satu ekosistem data bersama, efek pemberdayaannya akan jauh lebih sistemik dan berkelanjutan," tutur Jake.
Untuk membaca riset lengkap tentang ekonomi digital Indonesia yang dilakukan DFS Lab, silakan kunjungi tautan ini https://www.dfslab.net/research-topics/gates-indonesia.