BANDUNG, KOMPAS.com – “Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan, kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu.”
Penggalan lirik lagu “Kolam Susu” yang dinyanyikan Koes Plus tersebut sangat pas menggambarkan kekayaan Indonesia. Sebagai negara yang kaya perairan, Indonesia memiliki berbagai jenis ikan, baik di perairan laut maupun darat. Begitu pula dengan ikan budi daya.
Ikan lele, misalnya. Salah satu ikan yang populer sebagai lauk di masyarakat ini mengalami peningkatan produksi dari tahun ke tahun.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP), produksi lele nasional mengalami peningkatan dari 993.653,04 ton pada 2020 menjadi 1.041.422,43 ton pada 2021. Sementara, produksi udang meningkat dari 863.118,86 ton pada 2019 menjadi 881.599,16 pada 2020.
Meski mengalami peningkatan, produksi ikan budi daya masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah biaya pakan yang tinggi. Apalagi, alokasi terbesar produksi ikan budi daya berasal dari kebutuhan pakan.
Pakan ikan sendiri merupakan komponen penting dalam budi daya perikanan karena bisa menentukan kuantitas dan kualitas produksi.
Untuk itu, pemberian pakan perlu dilakukan secara efisien. Artinya, pemberian pakan ikan harus dilaksanakan secara merata dan teratur tanpa memakan banyak tenaga dan waktu.
Baca juga: Jurus eFishery Kembangkan Bisnis di Tengah Surutnya Pendanaan Startup
Tantangan tersebut ditangkap jeli sebagai peluang oleh Gibran Huzalifah dan Chrisna Aditya. Pada 2013, mereka mendirikan eFishery, startup aquatech pertama di Asia.
Produk pertama yang dikembangkan eFishery adalah alat pemberi makan ikan otomatis atau eFeeder.
“Produk eFeeder berfokus pada efisiensi pemberian pakan. Produk ini dapat menjadwalkan pemberian pakan secara tepat, baik tepat waktu, tepat jumlah, maupun tepat sasaran,” ujar Chrisna yang kini menjabat sebagai Chief Product Officer eFishery saat menerima kunjungan media di Kantor Pusat eFishery Bandung, Jawa Barat (Jabar), Rabu (24/7/2024).
Produk tersebut, lanjut Chrisna, dapat dikontrol melalui aplikasi pada smartphone sehingga pengguna bisa mengatur dari mana pun dan kapan saja.
Teknologi tersebut memiliki akurasi penebaran mencapai galat 30 persen dengan jarak lontar hingga 20 meter untuk ukuran pakan 1-5 mm.
Chrisna menyebut bahwa eFeeder dapat meningkatkan efisiensi pakan hingga 30 persen, mempercepat siklus panen hingga 74 hari, meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 persen, dan meningkatkan pendapatan hingga 45 persen.
“Dengan pemberian pakan yang efisien, produksi pun meningkat,” ucapnya.
Tak hanya pemberian pakan, eFishery juga menghadirkan berbagai solusi dari hulu ke hilir bagi pembudi daya, baik ikan maupun udang, di Indonesia.
“Kami juga mengadakan pelatihan, membuka akses finansial, dan membantu mendistribusikan produk pembudi daya,” kata Chrisna.
Menurutnya, sektor akuakultur, khususnya ikan dan udang budi daya, dapat menjadi salah satu solusi untuk memenuhi peningkatan kebutuhan protein hewani yang ramah lingkungan.
Laporan Our Data in World yang dipublikasikan pada 2020 memproyeksikan kebutuhan protein global akan meningkat hingga 52 persen pada 2050. Peningkatan ini seiring jumlah populasi global yang mencapai 10 miliar jiwa.
Baca juga: Produksi Perikanan RI Hanya 3,34 Juta Ton Selama Semester I/2024
Sayangnya, pemenuhan protein global belum dapat dilepaskan dari peternakan hewan yang menghasilkan jejak karbon tak sedikit.
“Ketimbang peternakan sapi, pembudidayaan ikan serta udang lebih hemat pakan dan ramah lingkungan,” ucap Chrisna.
Sebagai gambaran, setiap 100 kg pakan dapat menghasilkan 61 kg daging ikan. Dengan jumlah pakan yang sama, daging sapi yang dihasilkan hanya sekitar 4-10 kg.
Dari sisi emisi gas rumah kaca (GRK), setiap 100 gram daging ikan hasil budi daya hanya menimbulkan 1,6 kg CO2e. Angka ini 15 kali lebih rendah jika dibandingkan emisi GRK per 100 gram daging sapi hasil peternakan yang mencapai 25 kg CO2e.
Chrisna menegaskan bahwa kehadiran eFishery diharapkan dapat mengatasi masalah pangan serta mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi melalui ekonomi digital yang inklusif.
“Di samping menyediakan kebutuhan pangan dunia lewat pengembangan teknologi dan pemberdayaan pembudi daya secara maksimal, kami juga berkomitmen penuh untuk menyalakan semangat (spark) dalam penciptaan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan,” ujar Chrisna.
Spark eFishery terhadap isu keberlanjutan pun mendapatkan dukungan positif dari Bank DBS Indonesia lewat pendanaan jangka pendek (loan) senilai Rp 500 miliar yang digelontorkan pada Oktober 2022.
Untuk diketahui, pendanaan berkelanjutan itu merupakan salah satu wujud dari pilar keberlanjutan pertama, yakni Responsible Banking, yang diusung Bank DBS Indonesia. Lewat pilar ini, perusahaan secara aktif membantu proyek berbasis environment, social, and governance (ESG).
“Dengan pendanaan itu, kami bersama Bank DBS Indonesia dapat mempercepat akselerasi industri akuakultur ramah lingkungan sehingga dapat tumbuh lebih baik,” ucap Chrisna.
Pendanaan dari Bank DBS Indonesia digunakan eFishery untuk memperluas bisnis sehingga meningkatkan penjualan hasil panen hingga dua kali lipat. Layanan startup ini pun telah hadir di 280 kota dan kabupaten di Indonesia. Selain itu, eFishery juga telah mengekspor udang dan ikan nila ke Amerika Serikat.
Head of Group Strategic Marketing and Communications PT Bank DBS Indonesia Mona Monika mengatakan bahwa pendanaan proyek-proyek hijau merupakan salah satu fokus Bank DBS Indonesia.
“Kami mendukung penuh eFishery yang menjadi startup akuakultur pertama yang mendapatkan pendanaan hijau dari perusahaan,” ucap Mona.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Udara, DBS Indonesia Gaet Startup NAFAS Pasang 50 Sensor Udara
Sebagian besar pendanaan, lanjut dia, umumnya diberikan kepada sektor energi terbarukan dan ekosistem kendaraan listrik.
Spark terhadap isu keberlanjutan yang dimiliki eFishery juga sejalan dengan kampanye “Trust Your Spark” dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Ke-35 Bank DBS Indonesia.
Kampanye itu ditujukan untuk menghidupkan dan memberdayakan spark dalam diri setiap orang agar mereka bisa mengejar mimpi dan menggapai seluruh aspirasinya tanpa keraguan.
“Kami mengagumi cara setiap social enterprise percaya pada spark mereka yang berupaya mengatasi isu lingkungan, sosial, serta kesetaraan gender dan pemerataan kesempatan kerja. Hal inilah yang memacu semangat Bank DBS Indonesia untuk menjadi mitra strategis dan penggerak menuju keberlanjutan,” tambah Mona.
Dia berharap, kampanye “Trust Your Spark” dapat menginspirasi semakin banyak wirausaha sosial untuk berperan aktif mewujudkan Indonesia yang lestari.
Sebagai informasi, DBS Group juga telah menerbitkan panduan “Our Path to Net Zero”. Panduan ini berisi percepatan agenda keberlanjutan DBS Group.
Dalam panduan tersebut, DBS Group memfokuskan dekarbonisasi pada sembilan sektor, yakni aviasi, otomotif, properti, kimia, pangan dan pertanian, minyak dan gas, energi, baja, serta pelayaran.
“Pendanaan hijau bukan lagi sebagai tren dalam perbankan, melainkan keharusan untuk bertransisi menuju ekonomi hijau yang menyokong pertumbuhan ekonomi nasional,” tegas Mona.