JAKARTA, KOMPAS.com – Kecerdasan Buatan (AI) telah menjadi pendorong utama transformasi layanan kesehatan global.
Mulai dari mendeteksi penyakit secara dini, meringankan beban administratif, hingga memberikan pemantauan pasien secara real-time, AI menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi sistem kesehatan di Indonesia.
Namun, inti dari keberhasilan adopsi AI terletak pada satu elemen penting, yaitu kepercayaan. Tanpa adanya keyakinan dari tenaga medis dan pasien, teknologi yang paling canggih sekali pun akan sulit diterapkan secara optimal.
Laporan Philips Future Health Index (FHI) 2025 menegaskan bahwa keberhasilan adopsi AI dalam layanan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh inovasi, tetapi juga terciptanya ekosistem kolaboratif yang dapat dipercaya di berbagai sektor.
Laporan yang didasarkan pada survei terhadap lebih dari 1.900 tenaga profesional kesehatan dan 16.000 pasien di 16 negara, termasuk Indonesia, itu menunjukkan adanya optimisme yang kuat di Tanah Air. Di Indonesia, 84 persen tenaga profesional kesehatan dan 74 persen pasien menyatakan optimistis terhadap penggunaan AI dalam layanan kesehatan.
Baca juga: AI dan Teknologi Medis Mutakhir, Harapan Baru Perawatan Jantung di Indonesia
Meski demikian, laporan itu juga menyoroti bahwa kesiapan sistem secara menyeluruh masih menjadi tantangan. Studi ini menekankan bahwa kepercayaan merupakan fondasi penting bagi setiap transformasi kesehatan yang bermakna.
FHI 2025 juga menguraikan tiga wawasan utama dalam transformasi layanan kesehatan yang relevan untuk Indonesia.
Pertama, keamanan data dan transparansi algoritma masih menjadi perhatian utama. Hal ini termasuk potensi risiko privasi data pasien yang diproses di luar negeri.
Kedua, tingginya beban administratif. Sebanyak 62 persen tenaga profesional kesehatan di Indonesia mengaku kehilangan waktu klinis karena data pasien yang tidak lengkap atau sulit diakses.
Lebih dari separuh responden juga menyatakan bahwa saat ini, mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk tugas administratif ketimbang berinteraksi dengan pasien jika dibandingkan lima tahun lalu. Angka ini jauh di atas rata-rata global.
Ketiga, lambatnya adopsi AI berpotensi menimbulkan kekhawatiran. Sebanyak 57 persen tenaga profesional kesehatan khawatir hal ini dapat memperburuk antrean pasien, dan 49 persen khawatir dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk intervensi dini.
Baca juga: AI Jadi Ujian Profesi Medis
Meskipun AI menawarkan manfaat dalam meningkatkan efisiensi, banyak tenaga medis yang masih khawatir akan kehilangan hubungan personal dengan pasien mereka.
Ketergantungan berlebihan pada otomatisasi, menurut sebagian pihak, dapat mengurangi sentuhan manusia dalam pemberian layanan kesehatan.
“Banyak tenaga kesehatan melihat nilai positif dari AI. Namun, kekhawatiran terkait keamanan data dan hilangnya sentuhan manusia masih tetap ada,” ujar Presiden Direktur Philips Indonesia Astri Ramayanti Dharmawan, dalam acara media briefing “Building Trust in Healthcare AI” yang digelar di The Westin Hotel, Jakarta, Rabu, (23/7/2025).
Astri juga menyoroti bahwa tingkat kematangan digital di rumah sakit Indonesia masih belum merata. Menurutnya, banyak fasilitas layanan kesehatan primer masih kekurangan infrastruktur yang memadai untuk mendukung solusi berbasis AI.
Selain kesiapan tenaga medis, membangun kepercayaan pasien juga sama pentingnya. Teknologi, seperti AI, menjanjikan diagnosis yang lebih cepat dan waktu tunggu yang lebih singkat.
Namun, manfaat itu tidak akan sepenuhnya terwujud jika pasien masih ragu atau tidak nyaman menggunakannya.
Laporan FHI 2025 menyoroti dimensi lain dari transformasi kesehatan digital, yaitu kesenjangan kepercayaan antara penyedia layanan kesehatan dan pasien.
Di berbagai wilayah Indonesia, pasien kerap mengalami keterlambatan dalam mendapatkan layanan medis.
Baca juga: Radiologi Modern: Integrasi AI dan USG Tingkatkan Deteksi Dini Penyakit
Survei tersebut menunjukkan bahwa 51 persen pasien di Indonesia mengalami penurunan kondisi kesehatan akibat keterlambatan mendapatkan pemeriksaan dokter. Lebih memprihatinkan lagi, 45 persen dari mereka harus menjalani rawat inap setelah menunggu terlalu lama.
Temuan itu menggambarkan realitas bahwa tanpa intervensi teknologi, sistem layanan kesehatan tradisional berisiko tidak mampu memenuhi kebutuhan pasien secara memadai.
AI dapat membantu menutup kesenjangan tersebut, mulai dari menyaring kasus non-darurat, mempercepat proses diagnosis, hingga mengurangi tekanan pada layanan spesialis. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud apabila pasien merasa aman dan yakin terhadap teknologi yang digunakan.
Menurut FHI 2025 untuk Indonesia, pasien yang lebih memahami AI cenderung lebih membutuhkan kepastian mengenai bagaimana teknologi tersebut digunakan dalam perawatan mereka.
Di antara pasien yang mengaku familiar dengan AI, 49 persen akan merasa lebih tenang jika mengetahui teknologi tersebut telah teruji aman dan efektif, 42 persen merasa yakin jika data mereka terjamin keamanannya, dan 43 persen merasa nyaman jika memahami secara jelas bagaimana AI digunakan dalam perawatan mereka.
Sebaliknya, angka tersebut menurun signifikan pada pasien yang kurang memahami AI. Meski demikian, tingkat kenyamanan pasien di Indonesia terhadap AI tercatat lebih tinggi di semua aspek jika dibandingkan rata-rata global.
Baca juga: Kemenkes: USG Berbasis AI Bisa Tekan Kematian Ibu dan Bayi
Dalam hal membangun kepercayaan pasien terhadap AI di bidang kesehatan, pasien merasa jauh lebih nyaman jika mendapatkan informasi terkait penggunaan AI langsung dari dokter (95 persen) dan perawat (92 persen).
Tingkat kenyamanan itu menurun jika informasi tersebut berasal dari media sosial (82 persen). Hal ini menegaskan peran penting tenaga medis dalam membangun kepercayaan pasien terhadap adopsi AI di sektor kesehatan.
Membangun kepercayaan terhadap AI dalam sistem kesehatan Indonesia memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan perusahaan teknologi.
Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Ketua Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan (TTDK), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Setiaji, ST, MSI, menekankan pentingnya regulasi yang adaptif.
Menurutnya, Kemenkes saat ini tengah menyusun pedoman dan regulasi komprehensif, termasuk pembentukan Kelompok Kerja AI yang bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan.
Selain itu, Kemenkes juga bermitra dengan Google Cloud untuk mengeksplorasi inovasi AI generatif di sektor kesehatan.
Tanda-tanda adopsi AI mulai terlihat di berbagai rumah sakit, baik publik maupun swasta. Direktur Utama RSJPD Harapan Kita dr Iwan Dakota, SpJP(K), MARS, mengungkapkan bahwa rumah sakit telah memanfaatkan AI untuk mendukung diagnosis dan terapi, termasuk dalam analisis MRI, operasi jantung berbantuan robot, serta penilaian berbasis AI di laboratorium kateterisasi.
Baca juga: Radiologi Modern: Integrasi AI dan USG Tingkatkan Deteksi Dini Penyakit
Integrasi perangkat wearable bertenaga AI juga memungkinkan dokter memantau kondisi pasien dalam jangka waktu yang lebih lama, sekaligus memberikan wawasan klinis hanya dalam hitungan menit.
Meski adopsi AI di sektor kesehatan terus menunjukkan perkembangan positif, laporan FHI 2025 menegaskan bahwa membangun kepercayaan antara pasien dan tenaga medis tetap menjadi kunci keberhasilan penerapan AI.
“Kami secara rutin melakukan edukasi kepada tenaga kesehatan maupun pasien beserta keluarganya. Upaya ini dilakukan melalui berbagai saluran, baik secara langsung maupun melalui situs resmi dan media sosial kami,” ujarnya.
Dari sektor swasta, Presiden Direktur Mandaya Hospital Group dr Benedictus Reinaldo Widaja, MBChB (UK), menyampaikan bahwa penerapan AI di rumah sakit mereka telah meningkatkan pengalaman pasien sekaligus efisiensi operasional.
Ia menjelaskan bahwa Mandaya telah mengintegrasikan AI ke dalam berbagai area klinis maupun non-klinis untuk membantu mengurangi beban administratif yang dihadapi dokter dan perawat.
Baca juga: Regulasi Penggunaan AI dalam Layanan Kesehatan dan Industri Vaksin
“Kami telah menerapkan sistem peringatan dini terintegrasi berbasis AI yang secara otomatis memberikan notifikasi sebelum kondisi pasien memburuk. Hal ini memungkinkan tim medis merespons lebih cepat dan dengan akurasi yang lebih tinggi,” jelasnya.
Namun, dr Ben menekankan bahwa investasi pada teknologi AI yang tepat dan pengembangan sumber daya manusia masih menjadi tantangan berkelanjutan.
Ia juga menegaskan pentingnya memiliki tim TI yang kuat serta tenaga medis yang melek teknologi untuk menjadi pemimpin kunci. Sebab, mereka mampu menjembatani penerapan AI yang lebih menyeluruh dan sukses di masa mendatang.
Salah satu perhatian utama dalam penerapan AI di sistem kesehatan adalah privasi data pasien. Kurangnya jaminan yang jelas terkait perlindungan data dapat menjadi hambatan besar dalam membangun kepercayaan pasien.
Menurut Setiaji, seluruh elemen yang terlibat dalam layanan kesehatan berbasis AI, mulai dari penyedia layanan hingga server data, harus berlokasi di Indonesia untuk menjamin keamanan data.
Ia menambahkan bahwa Kementerian Kesehatan telah memperkenalkan kerangka kerja regulatory sandbox untuk mengatur para inovator AI. Kerangka ini memastikan bahwa teknologi yang diimplementasikan aman bagi pasien sekaligus mempercepat pengembangan regulasi yang relevan.
Baca juga: BRIN Kembangkan Teknologi AI untuk Diagnosis Malaria dengan Akurasi Tinggi
“Sandbox memungkinkan pemerintah merespons kemajuan teknologi dengan cepat sekaligus memitigasi potensi risiko,” jelasnya.
Dokter Iwan menyampaikan kekhawatiran serupa. Ia mengatakan bahwa meskipun rekam medis elektronik sudah digunakan, ancaman serangan siber masih ada.
Maka dari itu, rumah sakit bekerja sama erat dengan Kemenkes dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menerapkan langkah-langkah perlindungan data yang komprehensif, termasuk menjaga server cadangan data tetap berada di Indonesia.
Sementara itu, dr Ben menekankan bahwa mesin AI yang digunakan di rumah sakit mereka beroperasi sepenuhnya dalam infrastruktur TI internal rumah sakit, yang sepenuhnya dikontrol dan dipantau.
Ia juga menyebutkan bahwa protokol internal yang ketat telah diterapkan, termasuk manajemen akses dan kebijakan berbagi kata sandi yang aman, guna memastikan perlindungan data dan integritas sistem.