JAKARTA, KOMPAS.com — Penyakit kardiovaskular, terutama jantung, masih menjadi momok kesehatan masyarakat Indonesia. Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mencatat, jumlah pasien penyakit jantung mencapai 1,89 juta orang per Mei 2024.
Dalam satu dekade terakhir, penyakit kardiovaskular bahkan tidak lagi identik dengan usia lanjut. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 140.206 orang usia 25–34 tahun terdiagnosis penyakit jantung.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.id, Kamis (7/10/2024), rata-rata usia diagnosis pertama penyakit jantung semakin muda, yakni dari usia 48,5 tahun pada 2013 menjadi 43,2 tahun pada 2023.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan beban ekonomi yang semakin besar karena produktivitas angkatan kerja menurun. Total produktivitas yang hilang dari kota-kota di Indonesia mencapai Rp 10,6 triliun, sedangkan di wilayah kabupaten senilai Rp 6,54 triliun.
Ketua Bidang Medis Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dan kardiolog di RS Jantung Harapan Kita dr BRM, Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA, FAsCC, menerangkan, serangan jantung pada usia produktif kini bukan hal langka.
Baca juga: Cek Jantung Sejak Usia 40-an, Langkah Kecil yang Bisa Selamatkan Nyawa
“Gaya hidup buruk, seperti merokok, makanan tinggi lemak, kurang gerak, adalah pemicunya. Hal yang lebih parah adalah banyak (pasien) yang terlambat (didiagnosis),” terang dr Ario dalam diskusi publik “Transformasi Digital dalam Perawatan Kardiovaskular: Kemajuan, Tantangan, dan Langkah ke Depan” di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (28/5/2025).
Keterlambatan penanganan sebagian besar disebabkan oleh dua hal, yaitu minim kesadaran akan deteksi dini serta fasilitas kesehatan berkualitas masih jarang di luar kota-kota besar.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Indonesia yang memiliki lebih dari 280 juta penduduk hanya terdapat sekitar 1.500 dokter spesialis jantung. Artinya, satu dokter harus melayani hampir 190.000 penduduk. Itu pun persebarannya tidak merata di seluruh Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg Iing Ichsan Hanafi, MARS, MH, menegaskan bahwa ketimpangan layanan kesehatan di Indonesia sangat nyata.
Tak hanya keterbatasan tenaga medis yang memiliki spesialisasi penyakit kardiovaskular, fasilitas kesehatan di berbagai wilayah di Indonesia belum berkembang serta sering kali kekurangan sarana untuk penanganan penyakit jantung.
Baca juga: Tidur Cukup Penting untuk Kesehatan Jantung, Ini Penjelasannya
Dari sekitar 3.150 rumah sakit di Indonesia, lanjutnya, hanya sebagian kecil punya layanan jantung lengkap.
“Dari sekitar 1.800 rumah sakit swasta, akses teknologi jantung masih sangat terbatas karena terbentur pembiayaan dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) spesialis,” jelas drg Iing.
Bahkan, imbuhnya, sebagian besar RS swasta yang memiliki layanan terpadu kardiovaskular masih tersentralisasi di Jawa.
Oleh karena itu, ia mendorong penguatan jejaring rujukan dan membangun sistem pelayanan jantung berbasis kompetensi. Dengan begitu, fasilitas kesehatan tingkat pertama dapat segera merujuk pasien ke pusat-pusat layanan jantung terdekat secara efisien.
Untuk menjawab tantangan ketimpangan tersebut, penggunaan teknologi berbasis artificial intelligence (AI) dapat menjadi solusi menjanjikan.
Teknologi ini dapat mempercepat diagnosis, meningkatkan efisiensi klinis, dan memperluas jangkauan layanan ke daerah-daerah yang kekurangan sumber daya.
Baca juga: Apa Beda Nyeri Dada akibat Asam Lambung dan Serangan Jantung? Ini Kata Dokter
Teknologi virtual berbasis AI juga memungkinkan penyedia layanan kesehatan di daerah terpencil memberikan layanan yang lebih cepat dan efektif.
Di Indonesia, kesadaran untuk mengadopsi teknologi AI di sektor kesehatan meningkat.
Laporan Philips Future Health Index 2024 mengungkapkan, sebanyak 74 persen pemimpin layanan kesehatan di Indonesia berencana untuk berinvestasi dalam teknologi generative AI dalam tiga tahun ke depan. Angka ini melebihi rata-rata global yang sebesar 56 persen.
Philips sendiri telah memiliki solusi kesehatan berbasis AI untuk mempercepat diagnosis, memantau pasien dari jarak jauh, dan menghubungkan rumah sakit di pusat dan daerah secara real-time.
Teknologi itu mencakup pencitraan medis, seperti USG jantung, CT scan, dan MRI dengan fitur pengukuran otomatis serta visualisasi real-time.
Ada pula sistem pemantauan jarak jauh untuk mendukung deteksi dini dan pengelolaan penyakit jantung secara proaktif dari rumah sehingga pasien tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit.
“Kami percaya bahwa teknologi, khususnya AI, bisa mempercepat alur layanan, meringankan beban dokter, dan yang paling penting, memperluas jangkauan perawatan,” ujar Presiden Direktur Philips Indonesia Astri Ramayanti Dharmawan.
Astri menjelaskan, kehadiran platform informatika terintegrasi mendukung penanganan kasus jantung kompleks dengan menghubungkan data pencitraan dan data klinis lintas departemen.
Baca juga: Gorengan, Garam, dan Gula, Tiga Hal yang Diam-diam Menyerang Jantung
Tim multidisiplin, mulai dari kateterisasi jantung, ekokardiografi, CT, hingga MRI, dapat mengakses satu tampilan terpadu pasien untuk melacak perkembangan penyakit dan mengambil keputusan dengan lebih cepat dan tepat.
Tak hanya itu, penggunaan alat digital, seperti pemantauan jarak jauh dan analitik prediktif, juga dapat memberdayakan tenaga kesehatan untuk mengelola kondisi kronis secara proaktif, mengurangi kunjungan ke rumah sakit yang tidak perlu, serta menjaga keterlibatan pasien dalam pengelolaan kesehatannya sendiri.
Keunggulan teknologi berbasis AI itu pun diakui oleh dr Ario. Menurutnya, teknologi yang tepat dapat membantu timnya bekerja lebih cepat dan efisien. Sebab, teknologi bisa menyederhanakan alur kerja, mempercepat proses diagnosis, dan mendukung pengambilan keputusan.
Ia sendiri telah beberapa kali ikut dalam operasi live demo yang dikendalikan lintas wilayah.
“Dengan teknologi, kami bisa berdiskusi, melihat hasil scan, dan bahkan membimbing tindakan medis dari jarak jauh. Ini tidak mungkin terjadi 10 tahun lalu,” terangnya.
Astri melanjutkan, komitmen Philips Indonesia dalam menghadirkan teknologi terkini untuk pelayanan kesehatan sejalan dengan visi global mereka, yakni “Better Care for More People.”
Visi itu bukan sekadar slogan, melainkan prinsip kerja dalam mendesain teknologi yang inklusif dan bisa diterapkan di semua level rumah sakit.
“Kami tidak hanya ingin menciptakan teknologi. Kami ingin menciptakan dampak nyata yang lebih luas. Teknologi kami harus bisa dipakai di rumah sakit daerah, bukan hanya pusat-pusat rujukan,” ujar Astri.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Philips Indonesia tidak bekerja sendiri. Astri menjelaskan, pihaknya aktif bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan.
Baca juga: Studi: Tidur Hanya 4 Jam Selama 3 Hari Bisa Ganggu Kesehatan Jantung
Sebagai contoh, Philips Indonesia menggandeng RS Harapan Kita yang merupakan National Heart Center untuk melakukan edukasi soal penyakit kardiovaskular.
Philips Indonesia juga berkolaborasi dengan rumah sakit swasta serta berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri, untuk membangun kurikulum pelatihan medis berdasarkan best practice yang relevan dengan era digital.
Philips juga mendorong transformasi layanan kesehatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu upayanya ditunjukkan melalui inovasi MRI berbasis helium rendah untuk mendukung komitmen net-zero emission.
Astri menegaskan, perjuangan Indonesia melawan penyakit jantung memerlukan lebih dari sekadar tenaga medis. Dengan keterbatasan jumlah dokter spesialis jantung dan beban penyakit yang terus meningkat, dibutuhkan solusi teknologi kesehatan yang mampu mempercepat diagnosis dan intervensi.
“Kami berkomitmen untuk membangun sistem kesehatan yang lebih kuat dan tangguh. Hal ini sejalan dengan visi kami untuk memberikan perawatan yang lebih baik bagi lebih banyak orang,” tuturnya.